Rabu, 01 Februari 2012

filosofi tembang macapat


Archive for the ‘tembang jawa’ Category
Juni 19th, 2011, posted in tembang jawa
Sebagai mana banyak kebiasaan dan adat jawa yang mengandung filosofi,.. maka macapat juga banyak mengandung filosofi kehidupan,… yang kalau kita renungi mengandung nilai yang amat dalam serta sarat akan  khasanah-khasanah kearifan. Di tengah gempuran budaya barat dan timur yang menggempur kita tak henti-henti, barat yang menawarkan liberalis dan hidup tanpa aturan serta unggah ungguh, dan budaya timur yang tak menerima perbedaan, yang selalu mengajak kekerasan untuk menentang perbedaan, ada baiknya kita kembali ke filosofi budaya sendiri yang amat luhur dan jelas sesuai dengan kehidupan kita yang beragam, yang mengajarkan kearifan dan kehalusan budi, tatakrama yang agung, serta keharmonisan di tengah perbedaan.
Salah satunya Macapat,.. yang kandungan filosofi amat dalam, bisa dijelaskan sbb:
1. Maskumambang
Adalah gambaran dimana manusia masih di alam ruh, yang kemudian ditanamkan dalam rahim/ gua garba ibu kita. Dimana pada waktu di alam ruh ini Allah SWT telah bertanya pada ruh-ruh kita: “Alastu Bi Robbikum”, “Bukankah AKU ini Tuhanmu”, dan pada waktu itu ruh-ruh kita telah menjawabnya: “Qoolu Balaa Sahidna”, “Benar (Yaa Allah Engkau adalah Tuhan kami) dan kami semua menjadi saksinya”.
2. Mijil
Merupakan ilustrasi dari proses kelahiran manusia, mijil/mbrojol/mencolot dan keluarlah jabang bayi bernama manusia. Ada yang mbrojol di India, ada yang di China, di Afrika, di Eropa, di Amerika dst. Maka beruntunglah kita lahir di bumi pertiwi yang konon katanya Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharjo Lir Saka Sambikala. Dan bukan terlahir di Somalia, Etiopia atau negara-negara bergizi buruk lainnya.
3. Sinom
Adalah lukisan dari masa muda, masa yang indah, penuh dengan harapan dan angan-angan.
4. Kinanthi
Masa pembentukan jatidiri dan meniti jalan menuju cita-cita. Kinanti berasal dari kata kanthi atau tuntun yang bermakna bahwa kita membutuhkan tuntunan atau jalan yang benar agar cita-cita kita bisa terwujud. Misalnya belajar dan menuntut ilmu secara sungguh-sungguh.”Apa yang akan kita petik esok hari adalah apa yang kita tanam hari ini”.
5. Asmarandana
Menggambarkan masa-masa dirundung asmara, dimabuk cinta, ditenggelamkan dalam lautan kasih. Asmara artinya cinta, dan Cinta adalah ketulusan hati.
Cinta adalah anugerah terindah dari Gusti Allah dan bagian dari tanda-tanda keAgungan-Nya.
6. Gambuh
Awal kata gambuh adalah jumbuh / bersatu yang artinya komitmen untuk menyatukan cinta dalam satu biduk rumah tangga. Dan inti dari kehidupan berumah tangga itu adalah saling melengkapi dan bersinergi secara harmonis.
Lumrahnya fungsi pakaian adalah untuk menutupi aurat, untuk melindungi dari panas dan dingin.Dalam berumah tangga seharusnya saling menjaga, melindungi dan mengayomi satu sama lain, agar biduk rumah tangga menjadi harmonis dan sakinah dalam naungan Ridlo-Nya.
7. Dhandhanggula
Gambaran dari kehidupan yang telah mencapai tahap kemapanan sosial, kesejahteraan telah tercapai, cukup sandang, papan dan pangan (serta tentunya terbebas dari hutang piutang). Kurangi Keinginan Agar Terjauh dari hutang. Hidup bahagia itu kuncinya adalah rasa syukur, yakni selalu bersyukur atas rezeki yang di anugerahkan Allah SWT kepada kita.
8. Durma
Sebagai wujud dari rasa syukur kita kepada Allah maka kita harus sering berderma, durma berasal dari kata darma / sedekah berbagi kepada sesama. Dengan berderma kita tingkatkan empati sosial kita kepada saudara-saudara kita yang kekurangan, mengulurkan tangan berbagi kebahagiaan, dan meningkatkan kepekaan jiwa dan kepedulian kita terhadap kondisi-kondisi masyarakat disekitar kita.
“Barangsiapa mau meringankan beban penderitaan saudaranya sewaktu didunia, maka Allah akan meringankan bebannya sewaktu di Akirat kelak”.
9. Pangkur
Pangkur atau mungkur artinya menyingkirkan hawa nafsu angkara murka, nafsu negatif yang menggerogoti jiwa kita. Menyingkirkan nafsu-nafsu angkara murka, memerlukan riyadhah / upaya yang sungguh-sungguh, dan khususnya di bulan Ramadhan ini mari kita gembleng hati kita agar bisa meminimalisasi serta mereduksi nafsu-nafsu angkara yang telah mengotori dinding-dinding kalbu kita.
10. Megatruh
Megatruh atau megat roh berarti terpisahnya nyawa dari jasad kita, terlepasnya Ruh / Nyawa menuju keabadian (entah itu keabadian yang Indah di Surga, atau keabadian yang Celaka yaitu di Neraka).
“ Kullu Nafsin Dzaaiqotul Maut “, “ Setiap Jiwa Pasti Akan Mati “.
“ Kullu Man Alaiha Faan “, “ Setiap Manusia Pasti Binasa “.
Akankah kita akan menjumpai Kematian Yang Indah (Husnul Qootimah) ataukah sebaliknya ?
11. Pocung (Pocong / dibungkus kain mori putih)
Manakala yang tertinggal hanyalah jasad belaka, dibungkus dalam balutan kain kafan / mori putih, diusung dipanggul laksana raja-raja, itulah prosesi penguburan jasad kita menuju liang lahat, rumah terakhir kita didunia.
“ Innaka Mayyitun Wainnahum Mayyituuna “, “ Sesungguhnya kamu itu akan mati dan mereka juga akan mati”.
Demikian luhurnya filososfi yang terkandung dalam setiap tembang Macapat,.. dimulai dari kita berbentuk roh sampai kita berpisah dengan roh kita, itulah tingkat kehidupan dan pencapaian2 yang ingin digambarkan dalam setiap tembang macapat. Bahwa kehidupan ini tak ada yang instan, untuk sampai pada tujuan tertentu selalu ada tahapan atau tingkatan yang dilalui untuk jadi pribadi yang sempurna. Dan setiap tahapan pasti mengajarkan nilai kehidupan.
Juni 18th, 2011, posted in tembang jawa
Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sanjak akhir yang disebut guru lagu.Macapat dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan Bali, Sasak , Madura dan Sunda. Selain itu juga pernah di temukan di Palembang dan Banjarmasin.Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah. Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam. Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang macapat termasuk Serat Wedhatama, Serat Wulangreh,dan Serat Kalatidha.

Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga kategori: tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé.Macapat digolongkan kepada kepada kategori tembang cilik dan juga tembang tengahan, sementara tembang gedhé berdasarkan kakawin atau puisi tradisional Jawa Kuna.
Pada umumnya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula. Arti lainnya ialah bahwa -pat merujuk kepada jumlah tanda diakritis (sandhangan) dalam aksara Jawa yang relevan dalam penembangan macapat.
Kemudian menurut Serat Mardawalagu, yang dikarang oleh Ranggawarsita, macapat merupakan singkatan dari frasa maca-pat-lagu yang artinya ialah “melagukan nada keempat”. Selain maca-pat-lagu, masih ada lagi maca-sa-lagu, maca-ro-lagu dan maca-tri-lagu.
Sebuah karya sastra macapat biasanya dibagi menjadi beberapa pupuh, sementara setiap pupuh dibagi menjadi beberapa pada.Setiap pupuh menggunakan metrum yang sama. Metrum ini biasanya tergantung kepada watak isi teks yang diceritakan. Jumlah pada per pupuh berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang digunakan. Sementara setiap pada dibagi lagi menjadi larik atau gatra. Sementara setiap larik atau gatra ini dibagi lagi menjadi suku kata atau wanda. Setiap gatra jadi memiliki jumlah suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama pula. Aturan mengenai penggunaan jumlah suku kata ini diberi nama guru wilangan. Sementara aturan pemakaian vokal akhir setiap larik atau gatra diberi nama guru lagu.
Jumlah metrum baku macapat ada 15 yaitu :
1.Dhandhang gula
2.Maskumambang
3.sinom
4.Kinanthi
5.Asmarandana
6.Durma
7.Pangkur
8.Mijil
9.Pocung
10.Juru Dhemung
11.Wirangrong
12.Balabak
13.Gambuh
14.Megatruh
15.Girisa
Dhandhanggula
Dhandhanggula adalah sebuah metrum yang memiliki watak luwes. Metrum ini diatribusikan kepada Sunan Kalijaga.
contoh : Serat Jayalengkara
Prajêng Medhang Kamulan winarni, (10i)
narèndrâdi Sri Jayalengkara, (10a)
kang jumeneng nrepatiné, (8e )
ambek santa budi alus, (7u)
nata dibya putus ing niti, (9i)
asih ing wadya tantra, (7a)
paramartêng wadu, (6u)
widagdêng mring kasudiran, (9a)
sida sedya putus ing agal lan alit, (12i)
tan kènger ing aksara.(7a)
kalau diartikan dalam bahasa indonesia :
Diceritakan mengenai kerajaan Medhang Kamulan,
ketika sang raja agung Sri Jayalengkara
yang bertahta sebagai raja
memiliki pikiran tenang dan berbudi halus
raja utama pandai dalam ilmu politik
mengasihi para bala tentara
sayang terhadap para wanita
teguh terhadap jiwa kepahlawanan
berhasil dalam berkarya secara lahiriah maupun batiniah
tidak terpengaruh sihir.
yang ditulis dalam kurung menandakan jumlah wanda atau suku kata dan guru lagu atau vokal terakhir di setiap gatra (baris).
Sinom
Pangéran Panggung saksana, (8a)
Anyangking daluwang mangsi, (9i)
Dènira manjing dahana, (8a)
Alungguh sajroning geni,(8i)
Èca sarwi nenulis, (7i)
Ing jero pawaka murub.(8u)
Kinanthi
Metrum Kinanthi ini memiliki watak gandrung dan piwulang. Metrum ini konon diciptakan oleh Sultan Adi Erucakra.
Contoh (Serat Rama gubahan Yasadipura):
Anoman malumpat sampun, (8u)
Praptêng witing nagasari, (8i)
Mulat mangandhap katingal,(8a)
Wanodyâyu kuru aking, (8i)
Gelung rusak awor kisma, (8a)
Ingkang iga-iga kêksi. (8i)
Pangkur
Lumuh tukua pawarta, (8a)
Tan saranta nuruti hardengati, (11i)
Satata tansah tinemu, (8u)
Kataman martotama, (7a)
Kadarmaning narendra sudibya sadu, (12u)
Wus mangkana kalih samya, (8a)
Sareng manguswa pada ji. (8i)
(Haji Pamasa, Ranggawarsita)
Durma
Damarwulan aja ngucireng ngayuda, (12 a)
Baliya sun anteni, (7 i)
Mangsa sun mundura, (6 a)
Lah Bisma den prayitna, (7 a)
Katiban pusaka mami, (8 i)
Mara tibakna,(5 a)
Curiganira nuli. (7 i)
(Langendriyan)
Mijil
Jalak uren mawurahan sami, (10 i)
Samadya andon woh, (6 o)
Amuwuhi malad wiyadine, (10 e)
Ana manuk mamatuk sasari, (10 i)
Angsoka sulastri,( 6 i)
Ruru karya gandrung. (6 u)
(Haji Pamasa, Ranggawarsita)
pocung
Ngelmu iku (4 u)
Kalakone kanthi laku (8u)
Lekase lawan kas (6a)
Tegese kas nyantosani (8i)
Setya budaya pangekese dur angkara (12a)
( dari serat wedhatama)
Gambuh
Sekar gambuh ping catur, (7u)
Kang cinatur polah kang kalantur, (10u)
Tanpa tutur katula tula katali, (12i)
Kadaluwarsa katutuh, (8u)
Kapatuh pan dadi awon. (8o)
Girisa
Metrum ini memiliki watak megah (mrebawani). Metrum ini diambil dari metrum kakawin dengan nama yang sama.
Dene utamaning nata, (8 a)
Berbudi bawa leksana, (8 a)
Lire berbudi mangkana, (8 a)
Lila legawa ing driya, (8 a)
Agung dennya paring dana, (8 a)
Anggeganjar saben dina, (8 a)
Lire kang bawa leksana, (8 a)
Anetepi pangandika. (8 a)
Kita bisa menulis sendiri syair macapat  versi kita kalau kita paham dan bisa bahasa jawa asal memenuhi rumus yang sudah ditetapkan tentang pada (bait), gatra (baris), guru wilangan (jumlah suku kata) dan guru lagu (vokal pada suku kata terakhir ) .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar